Mengimani QS. al-Hujurat [49]: 13 Sebagai Asas Berkebangsaan

Oleh: Nailul Marom

Indonesia merupakan negara dengan tingkat pluralitas yang tinggi. Bangsa Indonesia memiliki ragam kepercayaan, adat istiadat, suku, bahasa dan lain sebagainya. Dan semua itu dilindungi oleh undang-undang guna menciptakan kerukunan dan solidaritas antar sesama bangsa. Nyaris tidak ditemukan sebuah negara yang memiliki tingkat pluralitas sebanyak di Indonesia.

Apabila kita mau kembali pada masa lalu, Indonesia tidak ubahnya bentuk representasi dari Daulah Islamiyah yang dimpimpin Rasulullah ﷺ di Madinah. Masyarakat kota Madinah, dengan keragaman suku dan agama, hidup rukun dan berdampingan. Guna melindung hak-hak masing-masing, Rasulullah ﷺ membuat asas penting dalam berbangsa yang kemudian disebut dengan ‘Piagam Madinah’, layaknya di Indonesia disebut dengan ‘Pancasila’.

Hidup berbangsa dan bersosial di tengah banyaknya perbedaan antara satu dengan yang lain tidak lantas menjadi alasan sebagai sekat pemisah untuk saling berjauhan apalagi menjatuhkan, tetapi justru menjadi media untuk saling melengkapi dalam banyak lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengenai hal ini, Al-Quran telah membicarakannya dalam surah al-Hujurat ayat 13, berikut:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti”. (QS. al-Hujurat [49]: 13)

Subtansi dari ayat ini menjelaskan bahwa telah menjadi sunnatullâh; manusia diciptakan dari berbagai kelompok masyarakat dan suku, bukan untuk saling mengkultuskan kelompok mereka masing-masing, tetapi untuk saling mengenal antara satu dengan yang lain.

Syekh al-Alusi dalam kitab tafsirnya, Ruhul-Ma’âni menjelaskan inti dari ayat ini adalah bahwa manusia diciptakan dari dua pasang manusia; seorang laki-laki, yakni Nabi Adam, dan seorang perempuan, yakni Sayyidah Hawa. Lantas dari keduanya lahir banyak keturunan yang kemudian menjadi beberapa kelompok dan suku. Tujuannya adalah untuk saling mengenal antara satu dengan yang lain bukan justru saling berbangga diri dan merendahkan. Sebab, pada dasarnya, perbedaan warna kulit, kasta, suku dan lain dari pada itu bermuara pada satu ayah dan ibu yang sama, yaitu Nabi Adam dan Sayyidah Hawa. Pada akhirnya, setinggi apapun kastanya, sebesar apapun kabilahnya, yang membedakan manusia di antara banyak perbedaan itu adalah ketakwaan mereka.

Mengenai konteks ayat (asbâb an-nuzûl) ini diturunkan, ulama tafsir berbeda pendapat.

Diriwayatkan dari az-Zuhri, beliau berkata: “Rasulullah ﷺ memerintahkan seorang dari kabilah Bani Bayadhah untuk menikahkan (seorang hamba sahaya bernama) Abu Hindin dengan seorang wanita dari kabilah tersebut. Mereka berkata kepada Rasulullah ﷺ, ‘Apakah kita akan menikahkan putri-putri kami dengan hamba-hamba sahaya kami?’” sebab kejadian ini, ayat ini diturunkan.

Dalam riwayat yang lain, ketika penaklukan kota Makkah (fathu Makkah), Sayyidina Bilal bin Rabah mengumandangkan azan di atas Kakbah. Melihat hal itu, sahabat al-Harits bin Hisham dan Attab bin Usaid marah, dan mengatakan: “Apakah pantas seorang hamba sahaya berkulit hitam seperti dia yang mengumandangkan azan di atas Kakbah.” Lantas turunlah ayat ini.

Dan beberapa riwayat lain yang menjelaskan sebab-sebab ayat ini diturunkan, yang pada intinya, dari semua riwayat, konteks ayat ini menyikapi sebuah persoalan suatu kelompok yang mengintimidasi individu atau kelompok lain yang bukan dari golongan mereka.

Sebelum Islam hadir di tengah-tengah bangsa Arab, fanatisme kesukuan menjadi suatu yang tak terelakkan. Golongan siapa yang paling besar dan kuat, mereka lah yang menguasai dan memimpin bangsa Arab. Setelah Islam hadir, tidak hanya perbedaan suku dan warna kulit, perbedaan agama seperti Yahudi dan Nasrani pun, selama mengikuti aturan yang ditetapkan Rasulullah ﷺ akan mendapatkan perlindungan dan keamanan di tengah-tengah umat Islam.

Hal itu serupa dengan kontes kehidupan dan sosial yang terjadi di Tanah Air Indonesia. Menurut sensus BPS tahun 2010, tercatat Indonesia memiliki 1.340 suku bangsa dengan 718 bahasa daerah, dan 6 agama. Kendati mayoritas masyarakatnya beragama Islam, umat-umat dari agama yang lain tetap bisa hidup damai dan berdampingan di bawah naungan bendera merah putih. Mereka: duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.

Tinggalkan komentar