MUDAH BELAJAR ILMU TAUHID

Oleh: Muhammad Anis Haddad*

Pembahasan mengenai masalah akidah dan keyakinan merupakan pembahasan yang masih banyak diminati oleh banyak orang. Sebab, pembahasan ini menyangkut langsung dengan masalah ketuhanan dan kenabian, dan juga merupakan ibadah yang paling utama.[1] Di samping itu, kewajiban orang Islam yang pertama adalah memang mengetahui siapa tuhannya[2]. Sebelum memasuki pembahasan ini alangkah baiknya jika kita membahas terlebih dahulu mengenai apa itu arti tauhid baik secara bahasa ataupun secara istilah.

Definisi Tauhid dan Penamaannya dengan Ilmu Kalam

Tauhid sendiri menurut bahasa adalah mengetahui akan keesaan sesuatu. Sedangkan menurut istilah adalah ilmu yang dapat mengantarkan seseorang bisa menetapkan akidah-akidah Islam yang diambil dari dalil-dalil yang bersifat yaqiniyah[3].

Ilmu ini biasa disebut dengan ilmu tauhid, dan ada juga yang menyebutnya ilmu kalam. Menurut Syekh Ibrahim al-Baijuri dalam kitab Tuhfatu al-Muridnya, alasan mengapa ilmu ini dikatakan ilmu tauhid ialah karena pembahasan yang paling populer di dalamnya adalah menyangkut sifat wahdâniyat, yakni tentang keesaan Tuhan. Dan, dinamakan ilmu kalam sebab pembahasan sifat kalam yang terkandung di dalamnya menuai perdebatan yang cukup panjang dan sulit dipecahkan.[4]

Wajibnya Mengetahui Akidah Islam dengan Dalil-dalilnya

Bagi setiap orang mukalaf wajib mengetahui akidah-akidah Islam dengan dalil-dalilnya walaupun secara global (ijmâli). Adapun mengetahuinya dengan dalil secara terperinci (tafshîlî), maka hukumnya fardhu kifâyah. Jadi, di setiap daerah harus ada yang mengetahui akidah Islam dengan dalilnya secara terperinci, sebab jika nanti ada syubhat akidah yang menjangkiti masyarakat maka dia bisa menolaknya. Jika di suatu daerah tidak ada satu pun orang yang mengetahuinya dengan dalil yang terperinci, maka semua masyarakat daerah itu dihukumi dosa semua.

Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa mengetahui dengan dalil tafshîlî merupakan fardhu ‘ain. Namun pendapat ini ditolak karena dianggap menyempitkan keluasan rahmat Allah, dan menjadikan penduduk surga hanya tertentu pada sedikit orang. Menurut Syaikh al-Baijuri, pendapat yang benar ialah pendapat yang mengatakan bahwa yang berhukum fardhu ‘ain adalah mengetahui dengan dalil ijmalii bukan dalil Tafshîlî.[5]

Selanjutnya, ulama berbeda pendapat mengenai status mukalid dalam masalah akidah. Ada empat pendapat yang berbeda mengenai status mukalid ini. Pertama, pendapat yang paling shahih, bahwa jika seorang mukalid mampu untuk berfikir maka, dianggap orang mukmin yang bermaksiat (mukmin ‘âshî). Jika tidak mampu, maka dianggap mukmin yang tidak maksiat (mukmin ghairu ‘âshî). Kedua,  bahwa mukalid tadi dihukumi mukmin yang tidak maksiat secara mutlak, baik mampu untuk berpikir atau tidak. Ketiga, bahwa mukalid tadi dihukumi mukmin yang maksiat secara mutlak. Keempat, mukalid tadi dihukumi kafir. Pendapat yang terakhir ini adalah pendapatnya Abu Hasyim al-Jubba’i dari kelompok muktazilah, dan Imam as-Sanusi dari kelompok Ahlusunnah wal-Jamaah. Namun ada riwayat yang mengatakan bahwa as-Sanusi akhirnya menarik kembali pendapatnya dan mengatakan bahwa bertaklid dalam hal akidah di anggap cukup.[6]

Ilmu Tauhid Mudah

Pada dasarnya, ilmu tauhid adalah gampang. Hal itu bisa dibuktikan dari cerita Abdullah bin Salam t yang menganggap cukup penjelasan Baginda Nabi r dengan Surah al-Ikhlas ketika beliau ditanya mengenai sifat-sifat Allah I. Oleh karena itu, mengetahui arti dari surat al-Ikhlas secara menyeluruh bisa mengantarkan seseorang mengetahui Ilmu tauhid.[7] Untuk memperjelas hal ini penulis akan menyebutkan sifat-sifat Allah I yang terkandung dalam Surah al-Ikhlash secara terperinci sebagaimana berikut:[8]

Ayat pertama, Katakanlah: “Dialah Allah yang Maha Esa”, maksudnya Esa dalam Dzat, Shifat dan Perbuatan-Nya. Keesaan ini menunjukkan pada sifat Wahdâniyat Allah I.

Ayat kedua, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, artinya hanya Allah tempat bergantungnya sesuatu, sedangkan Allah tidak bergantung kepada siapapun. Hal ini menjadi isyarat terhadap sifat Qiyâmuhu bi nafsihi.

Ayat ketiga, Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, artinya wujudnya Allah tidak ada permulaanya dengan didahului orang tua yang melahirkan, dan tidak ada akhirnya, yang akan diganti oleh seorang anak sebagai penerusnya. Hal ini menjadi isyarat terhadap sifat Qidam dan Baqâ’.

Ayat keempat, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia, dengan arti tidak ada yang serupa dengan Allah I dalam hal apapun. Demikian ini menjadi isyarat terhadap sifat Mukhâlafatuhû lil-hawâdits.

Bahkan, lebih ringkas lagi, menurut al-Ustadz Abu Ishaq al-Isfiraini semua pembahasan mengenai ilmu tauhid sejatinya hanya kembali kepada dua pokok pembahasan. Pertama, meyakini bahwa semua apa yang tergambar dalam pikiran dan praduga manusia tidak sama dengan Allah SWT. Kedua, meyakini bahwa dzat Allah I tidak serupa dengan dzat-dzat makhluk, serta tidak dikosongkan dari sifat.[9] Pernyataan al-Isfiraini di atas, di samping memudahkan arah pembahasan bagi para pelajar ilmu tauhid juga memberi kejelasan bagi kita bahwa keyakinan kelompok Wahabi, Mujassimah, Musyabbihah dan Hasyawiyyah yang sering menyamakan Allah I dengan makhluk-Nya adalah keyakinan yang tidak benar. Pernyataan al-Isfiraini di atas secara jelas juga menolak terhadap sekte Muktazilah yang tidak mau mengakui sifat-sifat Allah I.

*Ketua Tim Reguler Lama Annajah Centre Sidogiri

[1] Ibrahim al-Baijuri,Tuhfatul Murîd ‘Ala Jauharotut-îd, Darul Kutub al-Islmiyah, Cet. I, hal.19

[2] Imam Ibnu Ruslan berkata dalam Zubad-nya, “pertama kali yang wajib bagi manusia adalah mengetahui Tuhan dengan penuh keyakinan”.

[3] Ibrahim al-Baijuri,Tuhfatul Murid ‘Ala Jauharotut-tauhid, Darul Kutub al-Islmiyah, Cet. I, hal 19.

[4] Ibid, hal. 20.

[5] Ibid, hal. 32.

[6] Ibrahim al-Baijuri, Tuhfatul Murîd ‘Alâ Jauharatut-tauhîd, Darul Kutub al-Islmiyah, Cet. I, hal 33.

[7] Ahmad bin Muhammad as-Shawi, Syarhu as-Shâwi ‘ala Jauharah at-Tauhîd, Daru Ibnu Katsir, hal. 86-87.

[8] Muhammad Idrus Ramli, Akidah Ahlussunnah wal-Jamaah: Penjelasan Sifat 50, al-Hujjah press, Cet. I hal. 151-152.

[9] Ibrahim al-Baijuri, Tuhfatul Murîd ‘Alâ Jauharatut-tauhîd, Darul Kutub al-Islmiyah, Cet. I, hal. 35.

3 Comments

Tinggalkan komentar